MAKALAH
FIKIH MUAMALAH 2
“
Agunan ”
Dosen
Pembimbing :
Khozainul
Ulum, S.H.I., M.H.I.
Oleh:
Adil
Manan
Qurrota
A’yun
Rif’atin
Aprilia
Saadatul
Khoiriyah
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. dzat
yang Maha Sempurna, Maha Pencipta dan Maha Penguasa segalanya,
karena hanya dengan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah
ini sesuai dengan apa
yang diharapkan yaitu tentang
“Agunan”. Makalah ini sengaja disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah “Fikih Muamalah
2”.
Tidak lupa penulis sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang turut berpartisipasi dalam
proses penyusunan tugas ini,
karena penulis sadar sebagai makhluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi dengan
orang lain dan tanpa adanya bimbingan,
serta rahmat dan karunia dari–Nya.
Penulis berharap
agar mahasiswa khususnya, dan umumnya dari para pembaca dapat memberikan kritik
yang positif dan saran untuk kesempurnaan Makalah
ini.
Lamongan,
21 Maret 2015
|
|
Penulis
|
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.................................................................... 1
C.
Tujuan
Penulisan...................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agunan.................................................................. 3
B.
Fungsi
Jaminan........................................................................ 4
C.
Konsep
Jaminan dalam Hukum Islam..................................... 5
D.
Penilaian
dan Pengikatan Jaminan........................................... 5
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.............................................................................. 11
B.
Saran
....................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jaminan
pada dasarnya dalam sebuah kontrak bagi hasil seperti mudharabah, eksistensi
dari jaminan tidak dibutuhkan, mengingat didalamnya sudah mengatur mengenai
risiko bagi para pihak ketika terjadi kerugian.
Tingkat
urgenitas dari sebuah jaminan adalah berkaitan dengan kekhawatiran shahibul mal
mengenai kemungkinan terjadinya penyelewengan yang dilakukan mudharib. Dengan
kata lain moral hazard menjadi factor mengapa jaminan menjadi penting. Adanya
jaminan juga diharapkan dapat mengcover kemungkinan terjadinya Total Loss.
Masalah
yang timbul kemudian adalah dalam pengajuan pembiayaan, dalam penyaluran
diperlukan adanya jaminan atau agunan untuk menghindari adanya penyimpangan.
Namun bagi masyarakat kalangan bawah dan menengah masih sulit melakukan
pinjaman dengan adanya jaminan tersebut. Untuk itulah penulis merasa perlu
untuk membahas mengenai jaminan (agunan).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi dari Agunan?
2.
Apa fungsi dari Agunan?
3.
Bagaimana konsep Agunan dalam Islam?
4.
Bagaimana cara Penilaian dan Pengikatan sebuah Agunan
(Jaminan)?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui definisi dari agunan.
2.
Untuk mengetahui fungsi dari agunan.
3.
Untuk mengetahui konsep agunan dalam islam.
4.
Untuk mengetahui cara penilaian dan pengikatan sebuah agunan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agunan (Jaminan)
Jaminan
atau yang lebih dikenal sebagai agunan adalah harta benda milik debitur atau
pihak ketiga yang diikat sebagai alat pembayar jika terjadi wanprestasi
terhadap pihak ketiga.
“Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”(Q.S Al-Baqarah: 283)[1]
Jaminan dalam
pengertian yang lebih luas tidak hanya harta yang ditanggungkan saja, melainkan
hal-hal lain seperti kemampuan hidup usaha yang dikelola oleh debitur.
Untuk jaminan jenis ini, diperlukan kemampuan analisis dari officer
pembiayaan untuk menganalisa circle live usaha debitur serta penambahan
keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan pembiayaan yang
telah diberikan berdasarkan prinsip-prinsip syariah.[2]
B.
Fungsi Jaminan
Jaminan
dalam pembiayaan memiliki dua fungsi yaitu Pertama, untuk pembayaran hutang
seandainya terjadi waprestasi atas pihak ketiga yaitu dengan jalan menguangkan
atau menjual jaminan tersebut. Kedua, sebagai akibat dari fungsi pertama, atau
sebagai indikator penentuan jumlah pembiayaaan yang akan diberikan kepada pihak
debitur. Pemberian jumlah pembiayaan tidak boleh melebihi nilai harta yang
dijaminkan.
Fungsi
jaminan adalah untuk menyakinkan bank atau kreditur bahwa debitur mempunyai
kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepaanya sesuai yang
diperjanjikan.
Jaminan
pembiayaan berupa watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha yang dimiliki
debitur merupakan jaminan immateriil yang berfungsi sebagai first way
out. Dengan jaminan immateriil tersebut dapat diharapkan debitur
dapat mengelola perusahaannya dengan baik sehingga memperoleh pendapatan (revenue)
bisnis guna melunasi pembiayaan sesuai yang diperjanjikan. Jaminan pembiayaan
berupa agunan bersifat kebendaan (materiil) berfungsi sebagai second
way out. Sebagai second way out, pelaksanaan penjualan/eksekusi
agunan baru dapat dilakukan apabila debitur gagal memenuhi kewajibannya melalui
first way out.[3]
Menurut
Prof. Soebekti jaminan yang baik dapat dilihat dari: [4]
1.
Dapat membantu memperoleh pembiayaan bagi pihak ketiga,
2.
Tidak melemahkan potensi pihak ketiga untuk menerima
pembiayaan guna meneruskan usahanya,
3.
Memberikan kepastian kepada bank untuk mengeluarkan
pembiayaan dan mudah diuangkan apabila terjadi wanprestasi .
C.
Konsep Jaminan dalam
Hukum Islam
Secara umum
jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang
berupa orang (personal guarancy) dan jaminan yang berupa harta benda.
Yang pertama sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah.
Sedangkan yang kedua dikenal dengan istilah rahn.
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak
kedua atau yang ditanggung (makful’anhu). Menurut bank Indonesia, kafalah
adalah akad pemberian jaminan (makful ‘alaih) yang diberikan satu pihak
kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran
kembali suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful).
Sedangkan
rahn menurut bahasa berarti al-tsubut dan al-habs, yaitu
penetapan dan penahanan. Adapula yang menjelaskan bahwa rahn adalah
terkurung atau terjerat.[5]
Secara istilah yaitu, menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut
ajaran islam sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan dapat
mengambil piutang atau mengambil sebagian manfaat barang itu. Menurut Dewan
Syariah Nasional, Rahn yaitu menahan barang sebagai jaminan atas hutang.[6] Sedangkan menurut Bank Indonesia, Rahn adalah akad
penyerahan barang/harta dari nasabah kepada bank sebagai jaminan sebagian atau
seluruh utang.
D.
Penilaian dan
Pengikatan Jaminan
1.
Penilaian / taksasi ( Appraisal ) jaminan
Jaminan
yang diberikan selanjutnya perlu dilakukan appraisal guna mengetahui seberapa
besar nilai harta yang dijaminkan. Penilaian atau appraisal didefinisikan sebagai
proses menghitung atau mengestimasi nilai harta jaminan. Proses dalam
memberikan suatu estimasi didasarkan pada niali ekonomis suatu harta jaminan
baik dalam bentuk properti berdasarkan hasil analisa fakta-fakta obkjektif dan
relevan dengan menggunakan metode yang berlaku.
Barang
jaminan dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu :
a.
Tangible ( berwujud) seperti tanah, kendaraan, mesin,
bangunan dll
b.
Intangible ( tidak berwujud) seperti hak paten, Franchise,
merk dagang, Hak cipta dll
c.
Surat-surat berharga.
Adapun
dasar penilaian sebuah jaminan di dasarkan atas beberapa hal yaitu :
a.
Nilai pasar ( Market Value)
yaitu perkiraan jumlah uang yang dapat diperoleh dari
transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti pada tanggal penilaian
antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual dalam
suatu transaksi bebas ikatan yang penawarannya diakukan secara layak diama
kedua belah pihak masing-masing mengetahui dan bertindak hati-hati tanpa
paksaan
b.
Nilai baru ( reproduction)
adalah nilai baru atau baya penggantian baru adalah
perkiraan jumlah uang yang dikeluarkan untuk pengadaan pembangunan/penggantian
properti baru yang meliputi baiaya, upah buruh dan biaya-biaya lain yang
terkait.
c.
Nilai Wajar (Depreciated Replacement cost)
adalah perkiraan jumlah uang yang diperoleh dari perhitungan
biaya reproduksi baru dikurangi biaya penyusutan yang terjadi karena
kerusakan fisik, kemunduran ekonomis dan fungsional.
d.
Nilai Asuransi
adalah nilai perkiraan jumlah uang yang diperoleh dari
perhitungan biaya pengganti baru dari bagian-bagian properti yang perlu
diasuransikan dikurangi penyusutan karena kekurangan fisik.
e.
Nilai Likuidasi
adalah perkiraan jumlah uang yang diperoleh dari transaksi
jual beli properti dipasar dalam waktu terbatas dimana penjual terpaksa
menjual.
f.
Nilai buku
adalah niali aktiva yang dicatat dalam pembukuan yang
dikurangi dengan akumulasi penyusutan atau pengembalian niali-nilai aktiva.
Kedudukan
jaminan atau kolateral bagi pembiayaan memiliki karakteristik khusus. Tidak
semua properti atau harta dapat dijadikan jaminan pembiayaan, melainkan harus
memenuhi unsur MASTS yaitu:[7]
a.
Marketability yakni adanya pasar yang cukup luas bagi
jaminan sehingga tidak sampai melakukan banting harga
b.
Ascertainably of value yakni jaminan harus memiliki standar
harga tertentu
c.
Stability of value yakni harta yang dijadikan jaminan stabil
dalam harga atau tidak menurun nilainya
d.
Transferability yaitu harta yang dijaminkan mudah dipindah
tangankan baik secra fisik maupun yuridis
e.
Secured yakni barang yang dijaminkan dapat diadakan
pengikatan secara yuridis formal sesuai dengan hukum dan perundang-undangan
yang berlaku apabila terjadi wanprestasi.
2.
Pengikatan Jaminan
Selanjutnya
Jaminan akan diikat dengan hukum pengikatan. Hal ini mengacu pada Surat Edaran
Bank Indonesia (SE-BI) No.4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972 disebutkan untuk
benda-benda yang tidak bergerak memakai lembaga jaminan hipotik, Hak Tanggungan
dan fiducia.
Hipotik
adalah hak kebendaan atas benda tetap tertentu milik orang lain yang secara
khusus diperikatkan untuk memberikan suatu tagihan, hak untuk didahulukan di
dalam mengambil pelunasan eksekusi atas barang tersebut. Dasar hukum pengikatan
ini adalah kitab undang-Undang Hukum perdata pasal 11162.
Pengikatan
/ Hipotik akibat perikatan pokok dapat berakhir apabila, Pertama karena
pembayaran, Kedua penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan
dan penitipan, Ketiga pembaruan hutang, Keempat penjumpaan hutang
atau kompensasi, Kelima pencampuran hutang, Keenam pembebasan
hutang, Ketujuh musnahnya barang yang terhutang, Kedelapan
pembatalan, Kesembilan berlakunya suatu syarat batal, Kesepuluh
lewat batas waktu.
Hapusnya
Hipotik akibat perikatan pokok dilakukan oleh kantor pertanahan atas permintaan
debitur yang biasa disebut dengan Roya. Selain itu Hipotik dapat berakir bila
penetapan hakim dan pelepasan hipotik oleh si penghutang.
Sedangkan
hak tanggungan adalah jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang
memeberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur terhadap
kreditur-kreditur lain. Hak tanggungan memberikan hak preference pada pemegang
terhadap krediturnya yang lain yaitu diutamakan dalam pengembalian hutangnya
dari penjualan barang harta jaminan yang dilelang. Dasar hukum pengikatan ini
adalah UU no 4 tahun 1996 tangal 9 april 1996 mengenai hak tanggungan.
Hapusnya hak tanggungan sesuai dengan pasal 18 Undang-undang
hak tanggungan yaitu :
a.
Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan
b.
Dilepasnya hak tanggungan oleh pemagang hak tanggungan
c.
Pembersihan Hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat
oleh ketua pengadilan negeri
d.
Hapusnya hak tanah yang dibebani oleh hak tanggungan.
Pengikatan
yang lain adalah fiducia. Yang dimaksud fiducia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan bahwa benda yang dimilikinya
tersebut dalam kepemilikan benda. Hal ini sesuai dengan Undang-undang No.42
tahun 1999. Pemasangan fiducia hanya bisa dilakukan oleh pemilik barang
bergerak yang dijadikan jaminan yang dilakukan dihadapan notaris. Apabila
dibuat dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk mengikat barang
jaminan. Akta fiducia didaftarkan di kantor kanwil kehakiman setempat dan dapat
digunakan untuk mengajukan permohonan eksekusi.
fiducia
ada beberapa unsur antara lain :
a.
Hak jaminan
b.
Benda bergerak
c.
Benda tidak bergerak khususnya bangunan
d.
Tidak bisa dibebani hak tanggungan
e.
Sebagai agunan
f.
Untuk pelunasan hutang.
Sedangkan
hapusnya fiducia disebabkan oleh hapusnya perikatan pokok yaitu perjanjian atau
pengakuan hutang yang mendahuluinya antara lain hapusnya hutang, pelepasan hak
atas jaminan fidusia dan musnahnya barang yang menjadi objek jaminan fiducia.
3.
Ongkos atas barang Jaminan
Keberadaan
jaminan dalam pembiayan di perbankan syariah tidak dapat dinafikan sangat
diperlukan atau menempati posisi yang cukup penting. Jaminan memberikan secure
tersendiri terhadap bank atas nasabah pembiayaan dan dapat dijadikan benchmark
plafon jumlah pembiayaan yang akan diberikan.
Keberadaan
barang jaminan sangat diperlukan menurut Muhammad taqi usmani dalam bukunya An
Introduction to Islamic Finance mengatakan bahwa jaminan dalam transaksi
murabahah pun sangat diperlukan akan tetapi persoalannya adalah apakah barang
jaminan harus diberikan fee charged yang harus ditanggung oleh pihak nasabah?.
Terdapat beberapa pendapat bahwa fee bisa saja dibebankan atas jaminan karena
diperlukan usaha untuk mencatat secara tertulis atau memerlukan proses
administrasi yang menggunakan jasa pihak-pihak lain. Akan tetapi dilain sisi
terdapat pendapat tidak membebankan fee atas barang jaminan.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jaminan atau yang lebih dikenal
sebagai agunan adalah harta benda milik debitur atau pihak ketiga yang diikat
sebagai alat pembayar jika terjadi wanprestasi terhadap pihak ketiga.
Fungsi jaminan
adalah untuk menyakinkan bank atau kreditur bahwa debitur mempunyai
kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepaanya sesuai yang
diperjanjikan.
Secara umum (konsep) jaminan dalam hukum Islam (fiqh)
dibagi menjadi dua, yaitu jaminan yang berupa orang (personal guarancy)
dan jaminan yang berupa harta benda. Yang pertama sering dikenal dengan istilah
dlaman atau kafalah. Sedangkan yang kedua dikenal dengan istilah rahn.
Adapun dasar penilaian sebuah
jaminan di dasarkan atas beberapa hal yaitu :
1.
Nilai pasar ( Market Value)
2.
Nilai baru ( reproduction)
3.
Nilai Wajar (Depreciated Replacement cost)
4.
Nilai Asuransi
5.
Nilai Likuidasi
6.
Nilai buku
Selanjutnya
Jaminan akan diikat dengan hukum pengikatan. Hal ini mengacu pada Surat Edaran
Bank Indonesia (SE-BI) No.4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972 disebutkan untuk
benda-benda yang tidak bergerak memakai lembaga jaminan hipotik, Hak Tanggungan
dan fiducia.
B.
Saran
1.
Sistem ekonomi Islam
menjadi solusi alternatif terhadap ketidakadilan yang muncul akibat sistem
ekonomi konvensional, karna ekonomi Islam memiliki keunggulan, baik sebagai
ilmu maupun sistem.
2.
Ekonomi Islam membawa
nilai-nilai yang belum muncul pada sistem ekonomi konvensional. Contohnya, saat
meminjam uang di bank konvensional, pertanyaan atas peminjaman menjadi kurang penting,
sedangkan di bank dengan sistem ekonomi Islam, misalnya Bank Syariah, tujuan
peminjaman harus jelas
3.
Hendaknya para pelaku
Debitur betul-betul menerapkan hukum jaminan sebagaimana yang dimaksudkan
peraturan perundangan dan juga tidak bertentangan dengan aturan hukum Islam.
[2] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), 281
[3] Faturrahman Djamil, Penyelesaian
Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 44.
[4] Soebekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit
Menurut Hukum Indonesia (Bandung : Alumni, 1999), 29.
[5] Hendi Suhendi, Fiqih
Muamalah (Jakarta: Rajawali Perss, 2010), 105.
[6] Fatwa DSN No.
25/DSN-MUI/III/2002
[7] Budi Untung, Kredit Perbankan Di Indonesia
(Yogyakarta: Andi, 2000), 58
[8] Mufti Muhammad Taqi
Usmani, An Introduction To Islamic
Finance (Pakistan: Maktaba Ma’ariful Qur’an 2002), 129-131
0 komentar:
Posting Komentar